Oleh Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri Lc, MA
Jika membaca berbagai nukilan dari para pemuka agama Syi'ah, dapat diketahui beberapa hal yang menunjukkan dan mendorong mereka membenci para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , terutama tiga khulafâ' ar-râsyidîn, yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, dan Ustman bin 'Affan Radhiyallahu anhum.
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan ini, saya mengajak Anda untuk merenungkan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut.
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allâh, dan orang-orang yang bersama dia (sahabat-sahabatnya) adalah orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih-sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allâh dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih diantara mereka ampunan dan pahala yang besar.[al-Fat-h/48:29].
Pada suatu hari ada seseorang menemui Imam Mâlik bin Anas rahimahullah, lalu tanpa rasa sungkan orang itu mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan beliau rahimahullah. Mendengar celaan orang tersebut terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Imam Mâlik spontan membaca ayat di atas, lalu beliau rahimahullah berkata:
مَنْ أَصْبَحَ وَفِي قَلْبِهِ غَيْظٌ عَلَى أَصْحَابِ محمَّد عليه السَّلام، فَقَدْ أَصَابَتْهُ الآيَةُ
Barangsiapa yang dalam hatinya terdapat kebencian kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berarti ia telah terkena vonis ayat ini.[1]
Abu Zur'ah ar-Râzi rahimahullah mengungkapkan alasan yang mendorong agama Syi'ah dan lainnya yang dengan getol mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Bila engkau menyaksikan seseorang mencela salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa dia itu kaum zindiq karena kita meyakini bahwa Rasûlullâh adalah benar, dan al-Qur`ân juga benar, sedangkan yang menyampaikan al-Qur`ân dan as-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita adalah para sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dengan demikian, orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berupaya menggugurkan para saksi kita, untuk selanjutnya menggugurkan al-Qur`ân dan as-Sunnah. Bila demikian adanya, maka orang itulah yang lebih pantas untuk dicela, karena sebenarnya ia adalah zindiq (kafir).[2]
Subhanallâh, betapa buruk maksud yang mereka pendam di balik upaya mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, celaan terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bukan lagi merupakan masalah sepele, sehingga tidak boleh dilupakan dan terlalaikan, hanya lantaran demi mewujudkan impian persatuan antara Ahlis-Sunnah dengan Syi'ah, untuk selanjutnya bersama-sama menghadapi Zionis Yahudi dan Salibis para pemuja salib.
Keimanan, perjuangan dan pengorbanan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sangatlah besar, sehingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai mereka dan melipatgandakan pahala untuk mereka. Boleh jadi, diantara cara Allâh Subhanahu wa Ta’ala melipatgandakan pahala para sahabat, walaupun mereka telah meninggal dunia ialah dengan adanya orang-orang yang membenci dan mencaci sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang demikian itu, karena orang yang mencaci tersebut pasti akan dituntut atas amalannya kelak pada hari kiamat. Sebagai pembalasannya, amal kebaikan orang tersebut akan digunakan sebagai tebusan atas dosa caciannya, dan bila tidak cukup maka dosa-dosa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan dilimpahkan kepadanya, dan selanjutnya orang yang mencela ini dijerumuskan ke dalam neraka.
عن أبي هُرَيْرَةَ z أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ n قَالَ: (أَتَدْرُونَ ما الْمُفْلِسُ؟) قالوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فقال: (إِنَّ الْمُفْلِسَ من أُمَّتِي من يَأْتِي يوم الْقِيَامَةِ بِصَلاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قد شَتَمَ هذا، وَقَذَفَ هذا، وَأَكَلَ مَالَ هذا، وَسَفَكَ دَمَ هذا، وَضَرَبَ هذا، فَيُعْطَى هذا من حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا من حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ، حَسَنَاتُهُ قبل أَنْ يُقْضَى ما عليه، أُخِذَ من خَطَايَاهُمْ، فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ) رواه مسلم
Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya pada suatu hari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya: "Tahukah kamu siapakah orang yang pailit itu," spontan para sahabat menjawab: "Orang pailit ialah orang yang tidak memiliki uang, juga tidak memiliki harta benda," (namun) selanjutnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawaban mereka dengan bersabda: "Sesungguhnya orang yang benar-benar pailit dari umatku ialah orang yang kelak pada hari Kiamat datang dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi ia juga datang dengan memikul dosa mencela orang ini, menuduh orang ini, memakan harta benda orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Akibatnya, orang ini diberi bagian dari pahalanya, dan orang ini diberi bagian dari pahalanya; dan bila pahalanya telah habis, sedangkan dosanya belum tertebus semuanya, maka akan diambilkan dari dosa-dosa mereka (orang yang dirampas haknya ketika di dunia), lalu dicampakkan kepadanya, dan selanjutnya ia pun dijerumuskan ke dalam neraka". [Riwayat Imam Muslim].
Oleh karena itu, tatkala 'Aisyah Radhiyallahu anhuma mendengar berita bahwa ada sebagian orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa terkecuali Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma, maka beliau Radhiyallahu anha berkata:
وَمَا تَعْجَبُونَ مِنْ هَذَا ؟ انْقَطَعَ عَنْهُمُ الْعَمَلُ، فَأَحَبَّ اللهُ أَنْ لاَ يَقْطَعَ عَنْهُمٌ الأَجْرَ (رواه مسلم)
"Apa yang kalian herankan dari kejadian ini? Mereka itu (para sahabat) adalah orang-orang yang telah terputus kesempatannya untuk beramal, akan tetapi Allâh menghendaki untuk tidak menghentikan aliran pahala dari mereka". [HR. Muslim].
Suatu ironi, dalam sebuah riwayat agama Syi'ah ada disebutkan betapa berat siksaan yang bakal diterima Sahabat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma, sampai-sampai setiap hari mereka akan dibunuh sebanyak seribu kali. Bahkan sahabat Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu akan menerima siksa yang lebih berat dari pada Iblis terlaknat. Sungguh mengherankan, apa dosa Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, sehingga mereka –menurut agama Syi'ah- harus menanggung siksa yang demikian berat?
Bila benar-benar mencari "dosa/kesalahan" mereka berdua, terutama Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, maka tidak ada yang lebih besar dibanding "dosa" meruntuhkan dinasti Majusi di Persia (Iran). Beliaulah yang mengutus pasukan umat Islam untuk menghapuskan dinasti Majusi dari bumi Persia (Iran). Sehingga berkat jasa Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu maka api pujaan kaum Majusi padam dan suara adzan membahana di bumi Persia.
Inilah mungkin yang menjadi salah satu alasan Imam Mahdi agama Syi'ah, yaitu imam mereka yang ke-12 untuk menjuluki dirinya dalam bahasa Persia dengan sebutan:
خسرو مجوس
(pahlawan pembela Majusi).[3]
Sungguh luar biasa, cucu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadi pahlawan pembela kaum Majusi yang nota bene para penyembah api ! Apakah hal ini masuk akal?
Tentu, bagi seorang Muslim yang benar-benar beriman dan berhati nurani bersih, hal itu tidak masuk akal dan tentu mustahil. Akan tetapi bagi para penganut agama Syi'ah, maka hal itu tidak mustahil, bahkan sangat logis. Sehingga riwayat seperti ini selalu muncul dalam referensi-referensi agama Syi'ah tanpa ada komentar atau upaya untuk meluruskannya; sebagaimana catatan sejarah perjalanan agama Syi'ah telah menguatkan kemungkinan terjadinya hal itu.
Julukan (sebutan) ini dapat disimak dalam riwayat yang dibawakan oleh Muhammad Baqir al- Majlisi; ia seorang mufti agama Syi'ah pada abad 11 H, berikut ini:
Tatkala Raja Persia telah mendapatkan kabar bahwa pasukannya dikalahkan oleh pasukan yang dikirimkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dalam peperangan Qadisiyyah, ia bergegas untuk meninggalkan istananya. Sesampainya di pintu istana, ia berhenti sejenak lalu berkata, "Selamat tinggal istanaku, aku akan segera meninggalkanmu, dan suatu saat nanti, aku atau salah seorang anak keturunanku yang belum tiba saatnya akan kembali lagi".
Sulaiman ad-Dailami, perawi kisah ini berkata, Akupun segera masuk menemui Abu Abdillâh Ja'far ash-Shâdiq, dan aku bertanya kepadanya, "Apa yang dimaksud oleh Raja Persia dengan ucapannya, 'atau salah seorang anak keturunanku'?" Abu Abdullâh pun menjawab, "Itulah Imam Mahdi kalian, sang penegak agama Allâh Azza wa Jalla , yaitu cucuku keenam, yang pada saat yang sama juga cucu keturunan Raja Persia Yazdajird".[4]
Demikian pengakuan imam mereka yang ke-6, yaitu Ja'far ash-Shûdiq. Bahwa Imam Mahdi versi agama Syi'ah akan menjadi pahlawan yang mengembalikan kejayaan dinasti Majusi Persia. Bahkan tidak cukup hanya mengembalikan kejayaan dinasti Majusi, ia juga akan membalaskan dendam mereka terhadap bangsa Quraisy yang telah meruntuhkan kejayaan mereka dari bumi Persia. Simaklah riwayat berikut, “Abu Ja'far Alaihissallam berkata, "Andai masyarakat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh al-Qaim (Imam Mahdi versi agama Syi'ah) setelah ia dibangkitkan, niscaya kebanyakan dari mereka berangan-angan untuk tidak menyaksikannya, dikarenakan begitu banyak ia membunuh manusia. Ketahuilah, bahwasannya kabilah pertama yang akan ia bunuh ialah Kabilah Quraisy. Ia tidak akan menerima dari mereka selain pedang (peperangan) dan tidak akan memberi mereka selain pedang pula, sampai-sampai banyak kalangan manusia yang berkata: 'Orang ini bukanlah dari keluarga Nabi Muhammad. Andai benar ia dari keluarga Nabi Muhammad, niscaya ia memiliki rasa belas-kasih'.".[5]
Tidak cukup dengan membalaskan dendamnya, bahkan agama Syi'ah juga mengklaim telah berhasil membebaskannya dari siksa neraka di akhirat. Disebutkan oleh beberapa tokoh agama Syi'ah, mereka mengisahkan bahwa pada suatu saat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengunjungi suatu daerah yang disebut al-Mada'en, yang dahulu merupakan ibu kota Negara Persia. Beliau berkeliling-keliling di kota itu, lalu singgah di istana Raja Persia. Saat tengah mengelilingi bekas istana Kisra itu, ia menyaksikan tengkorak manusia yang telah rapuh. Kemudian Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada sebagian pasukannya untuk meletakkan tengkorang itu di dalam bejana. Selanjutnya beliau Radhiyallahu anhu berkata kepada tengkorak itu, “Aku menyumpahimu, wahai tengkorak, agar engkau mengabarkan kepadaku, siapakah aku dan siapakah dirimu ?" Spontan tengkorang itu dengan bahasa yang fasih, menjawab, "Adapun engkau, maka engkau adalah Amirul-Mukminin, pemimpin para penyandang wasiat, dan pemimpin orang-orang bertakwa. Adapun aku, maka aku adalah hambamu dan putra hamba wanitamu, yaitu Kisra Anusyirwan .... akan tetapi walaupun aku kafir, Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah membebaskan aku dari siksa neraka berkat aku dahulu menegakkan keadilan diantara rakyatku, sehingga meskipun aku menghuni neraka, tetapi neraka diharamkan untuk menyentuh diriku."[6]
Mungkin ini pulalah yang mendasari agama Syi'ah Itsna 'Asyariyah untuk memilih Ali Zainal Abidin dari sekian banyak putra al-Husain sebagai imam mereka yang ke-4. Mungkin ini pula yang mendasari Syi'ah meyakini bahwa imam mereka sepeninggal al-Husain hanya ada pada keturunan al-Husain, dan secara khusus dari jalur Ali Zainal Abidin. Berbeda dengan anak cucu al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhum, maka tidak seorangpun yang dinobatkan oleh agama Syi'ah sebagai imam mereka, padahal semua mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, secara khusus telah memuji al-Hasan sebagai seorang pemimpin yang berjasa besar.
إِنَّ ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ ، وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya putraku ini adalah seorang pemimpin, dan semoga saja Allâh dengan perantarannya mendamaikan antara dua kelompok besar dari umat Islam (yang saling berperang, Pen.). [HR al-Bukhâri]
Bila demikian nasib anak keturunan al-Hasan di mata para penganut agama Syi'ah, maka nasib anak keturunan putera-puteri Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu lainnya tidak akan berbeda darinya.
Hal lain yang sangat mengejutlan dari permusuhan penganut agama Syi'ah terhadap Umar bin al- Khaththab -yang menguatkan kesimpulan di atas, yakni balas dendam atas runtuhnya dinasti Majusi- ialah diagungkannya eksekutor pembunuh Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yaitu Abu Lu'lu'ah Fairuz al-Majusi.
Mereka -para penganut agama Syi'ah- sangat mengkultuskan Abu Lu'lu'ah Fairuz al-Majusi, padahal ia telah menorehkan sejarah kelam dalam sejarah Islam. Kisahnya, pada pagi hari, tepatnya ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab sedang memimpin umat Islam di Masjid Nabawi menjalankan shalat Subuh, Abu Lu'lu'ah al-Majusi melampiaskan dendam kesumatnya. Dengan sebilah pisau yang sebelumnya telah dibubuhi racun mematikan, ia menikam Khalifah Umar bin al-Khaththab beberapa kali.
Atas jasa pembalasan dendam inilah, Abu Lu'lu'ah al-Majusi mendapatkan penghargaan besar yang disematkan oleh para penganut agama Syi'ah. Bentuk penghormatan sekaligus penghargaan yang diberikan kepada pembunuh Khalifah Umar bin al-Khaththab ini diwujudkan dalam dua hal, yaitu; Pertama, agama Syi'ah meyakini bahwa Abu Lu'lu'ah al-Majusi dikuburkan di Kota Kâsyân, Iran. Sebagai wujud penghormatan, mereka membangun kuburannya ini dan menjadikannya sebagai tempat bersejarah yang senantiasa dikunjungi, Kedua, hari keberhasilan Abu Lu'lu'ah al-Majusi melampiaskan dendamnya kepada Amirul-Mukminin Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu anhu disebutnya sebagai hari besar, yaitu hari raya 'Idul Akbar.
Inilah beberapa catatan, agar kaum Muslimin waspada terhadap gerakan dan pemikiran agama Syi'ah yang saat ini sudah mulai merebak ke tengah-tengah kita. Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga kaum Muslimin tetap istiqamah menempuh manhaj para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVII/1435H/2014M.]
________
Footnote
[1]. As-Sunnah, oleh Imam Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Khallal, 2/478.
[2]. Tarikh Dimasq, oleh Ibnu 'Asâkir, 38/32-33.
[3]. Disebutkan oleh an-Nuri ath-Thabrasi sebagai julukan ke-47 dari sekian banyak julukan Mahdi Syi'ah. Lihat an-Najmu ats-Tsaqib fî Ahwâli al-Imam al-Hujjah al-Ghâib, hlm. 185.
[4]. Bihârul-Anwâr, oleh al-Majlisi, 51/163-164
[5]. Al-Gahibah, oleh Muhammad bin Ibrahim an-Nu'mani (wafat tahun 380 H), hlm. 233.
[6]. Al-Fadhâil, oleh Syazân bin Jibra'il al-Qummi (hlm. 71), Bihârul-Anwâr (41/213) dan Madinatul- Ma'ajiz, oleh as-Sayyid Hasyim al-Bahrâni (1/227).
Jika membaca berbagai nukilan dari para pemuka agama Syi'ah, dapat diketahui beberapa hal yang menunjukkan dan mendorong mereka membenci para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , terutama tiga khulafâ' ar-râsyidîn, yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, dan Ustman bin 'Affan Radhiyallahu anhum.
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan ini, saya mengajak Anda untuk merenungkan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut.
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allâh, dan orang-orang yang bersama dia (sahabat-sahabatnya) adalah orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih-sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allâh dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih diantara mereka ampunan dan pahala yang besar.[al-Fat-h/48:29].
Pada suatu hari ada seseorang menemui Imam Mâlik bin Anas rahimahullah, lalu tanpa rasa sungkan orang itu mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan beliau rahimahullah. Mendengar celaan orang tersebut terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Imam Mâlik spontan membaca ayat di atas, lalu beliau rahimahullah berkata:
مَنْ أَصْبَحَ وَفِي قَلْبِهِ غَيْظٌ عَلَى أَصْحَابِ محمَّد عليه السَّلام، فَقَدْ أَصَابَتْهُ الآيَةُ
Barangsiapa yang dalam hatinya terdapat kebencian kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berarti ia telah terkena vonis ayat ini.[1]
Abu Zur'ah ar-Râzi rahimahullah mengungkapkan alasan yang mendorong agama Syi'ah dan lainnya yang dengan getol mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Bila engkau menyaksikan seseorang mencela salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa dia itu kaum zindiq karena kita meyakini bahwa Rasûlullâh adalah benar, dan al-Qur`ân juga benar, sedangkan yang menyampaikan al-Qur`ân dan as-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita adalah para sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dengan demikian, orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berupaya menggugurkan para saksi kita, untuk selanjutnya menggugurkan al-Qur`ân dan as-Sunnah. Bila demikian adanya, maka orang itulah yang lebih pantas untuk dicela, karena sebenarnya ia adalah zindiq (kafir).[2]
Subhanallâh, betapa buruk maksud yang mereka pendam di balik upaya mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, celaan terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bukan lagi merupakan masalah sepele, sehingga tidak boleh dilupakan dan terlalaikan, hanya lantaran demi mewujudkan impian persatuan antara Ahlis-Sunnah dengan Syi'ah, untuk selanjutnya bersama-sama menghadapi Zionis Yahudi dan Salibis para pemuja salib.
Keimanan, perjuangan dan pengorbanan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sangatlah besar, sehingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai mereka dan melipatgandakan pahala untuk mereka. Boleh jadi, diantara cara Allâh Subhanahu wa Ta’ala melipatgandakan pahala para sahabat, walaupun mereka telah meninggal dunia ialah dengan adanya orang-orang yang membenci dan mencaci sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang demikian itu, karena orang yang mencaci tersebut pasti akan dituntut atas amalannya kelak pada hari kiamat. Sebagai pembalasannya, amal kebaikan orang tersebut akan digunakan sebagai tebusan atas dosa caciannya, dan bila tidak cukup maka dosa-dosa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan dilimpahkan kepadanya, dan selanjutnya orang yang mencela ini dijerumuskan ke dalam neraka.
عن أبي هُرَيْرَةَ z أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ n قَالَ: (أَتَدْرُونَ ما الْمُفْلِسُ؟) قالوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فقال: (إِنَّ الْمُفْلِسَ من أُمَّتِي من يَأْتِي يوم الْقِيَامَةِ بِصَلاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قد شَتَمَ هذا، وَقَذَفَ هذا، وَأَكَلَ مَالَ هذا، وَسَفَكَ دَمَ هذا، وَضَرَبَ هذا، فَيُعْطَى هذا من حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا من حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ، حَسَنَاتُهُ قبل أَنْ يُقْضَى ما عليه، أُخِذَ من خَطَايَاهُمْ، فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ) رواه مسلم
Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya pada suatu hari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya: "Tahukah kamu siapakah orang yang pailit itu," spontan para sahabat menjawab: "Orang pailit ialah orang yang tidak memiliki uang, juga tidak memiliki harta benda," (namun) selanjutnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawaban mereka dengan bersabda: "Sesungguhnya orang yang benar-benar pailit dari umatku ialah orang yang kelak pada hari Kiamat datang dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi ia juga datang dengan memikul dosa mencela orang ini, menuduh orang ini, memakan harta benda orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Akibatnya, orang ini diberi bagian dari pahalanya, dan orang ini diberi bagian dari pahalanya; dan bila pahalanya telah habis, sedangkan dosanya belum tertebus semuanya, maka akan diambilkan dari dosa-dosa mereka (orang yang dirampas haknya ketika di dunia), lalu dicampakkan kepadanya, dan selanjutnya ia pun dijerumuskan ke dalam neraka". [Riwayat Imam Muslim].
Oleh karena itu, tatkala 'Aisyah Radhiyallahu anhuma mendengar berita bahwa ada sebagian orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa terkecuali Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma, maka beliau Radhiyallahu anha berkata:
وَمَا تَعْجَبُونَ مِنْ هَذَا ؟ انْقَطَعَ عَنْهُمُ الْعَمَلُ، فَأَحَبَّ اللهُ أَنْ لاَ يَقْطَعَ عَنْهُمٌ الأَجْرَ (رواه مسلم)
"Apa yang kalian herankan dari kejadian ini? Mereka itu (para sahabat) adalah orang-orang yang telah terputus kesempatannya untuk beramal, akan tetapi Allâh menghendaki untuk tidak menghentikan aliran pahala dari mereka". [HR. Muslim].
Suatu ironi, dalam sebuah riwayat agama Syi'ah ada disebutkan betapa berat siksaan yang bakal diterima Sahabat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma, sampai-sampai setiap hari mereka akan dibunuh sebanyak seribu kali. Bahkan sahabat Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu akan menerima siksa yang lebih berat dari pada Iblis terlaknat. Sungguh mengherankan, apa dosa Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, sehingga mereka –menurut agama Syi'ah- harus menanggung siksa yang demikian berat?
Bila benar-benar mencari "dosa/kesalahan" mereka berdua, terutama Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, maka tidak ada yang lebih besar dibanding "dosa" meruntuhkan dinasti Majusi di Persia (Iran). Beliaulah yang mengutus pasukan umat Islam untuk menghapuskan dinasti Majusi dari bumi Persia (Iran). Sehingga berkat jasa Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu maka api pujaan kaum Majusi padam dan suara adzan membahana di bumi Persia.
Inilah mungkin yang menjadi salah satu alasan Imam Mahdi agama Syi'ah, yaitu imam mereka yang ke-12 untuk menjuluki dirinya dalam bahasa Persia dengan sebutan:
خسرو مجوس
(pahlawan pembela Majusi).[3]
Sungguh luar biasa, cucu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadi pahlawan pembela kaum Majusi yang nota bene para penyembah api ! Apakah hal ini masuk akal?
Tentu, bagi seorang Muslim yang benar-benar beriman dan berhati nurani bersih, hal itu tidak masuk akal dan tentu mustahil. Akan tetapi bagi para penganut agama Syi'ah, maka hal itu tidak mustahil, bahkan sangat logis. Sehingga riwayat seperti ini selalu muncul dalam referensi-referensi agama Syi'ah tanpa ada komentar atau upaya untuk meluruskannya; sebagaimana catatan sejarah perjalanan agama Syi'ah telah menguatkan kemungkinan terjadinya hal itu.
Julukan (sebutan) ini dapat disimak dalam riwayat yang dibawakan oleh Muhammad Baqir al- Majlisi; ia seorang mufti agama Syi'ah pada abad 11 H, berikut ini:
Tatkala Raja Persia telah mendapatkan kabar bahwa pasukannya dikalahkan oleh pasukan yang dikirimkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dalam peperangan Qadisiyyah, ia bergegas untuk meninggalkan istananya. Sesampainya di pintu istana, ia berhenti sejenak lalu berkata, "Selamat tinggal istanaku, aku akan segera meninggalkanmu, dan suatu saat nanti, aku atau salah seorang anak keturunanku yang belum tiba saatnya akan kembali lagi".
Sulaiman ad-Dailami, perawi kisah ini berkata, Akupun segera masuk menemui Abu Abdillâh Ja'far ash-Shâdiq, dan aku bertanya kepadanya, "Apa yang dimaksud oleh Raja Persia dengan ucapannya, 'atau salah seorang anak keturunanku'?" Abu Abdullâh pun menjawab, "Itulah Imam Mahdi kalian, sang penegak agama Allâh Azza wa Jalla , yaitu cucuku keenam, yang pada saat yang sama juga cucu keturunan Raja Persia Yazdajird".[4]
Demikian pengakuan imam mereka yang ke-6, yaitu Ja'far ash-Shûdiq. Bahwa Imam Mahdi versi agama Syi'ah akan menjadi pahlawan yang mengembalikan kejayaan dinasti Majusi Persia. Bahkan tidak cukup hanya mengembalikan kejayaan dinasti Majusi, ia juga akan membalaskan dendam mereka terhadap bangsa Quraisy yang telah meruntuhkan kejayaan mereka dari bumi Persia. Simaklah riwayat berikut, “Abu Ja'far Alaihissallam berkata, "Andai masyarakat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh al-Qaim (Imam Mahdi versi agama Syi'ah) setelah ia dibangkitkan, niscaya kebanyakan dari mereka berangan-angan untuk tidak menyaksikannya, dikarenakan begitu banyak ia membunuh manusia. Ketahuilah, bahwasannya kabilah pertama yang akan ia bunuh ialah Kabilah Quraisy. Ia tidak akan menerima dari mereka selain pedang (peperangan) dan tidak akan memberi mereka selain pedang pula, sampai-sampai banyak kalangan manusia yang berkata: 'Orang ini bukanlah dari keluarga Nabi Muhammad. Andai benar ia dari keluarga Nabi Muhammad, niscaya ia memiliki rasa belas-kasih'.".[5]
Tidak cukup dengan membalaskan dendamnya, bahkan agama Syi'ah juga mengklaim telah berhasil membebaskannya dari siksa neraka di akhirat. Disebutkan oleh beberapa tokoh agama Syi'ah, mereka mengisahkan bahwa pada suatu saat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengunjungi suatu daerah yang disebut al-Mada'en, yang dahulu merupakan ibu kota Negara Persia. Beliau berkeliling-keliling di kota itu, lalu singgah di istana Raja Persia. Saat tengah mengelilingi bekas istana Kisra itu, ia menyaksikan tengkorak manusia yang telah rapuh. Kemudian Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada sebagian pasukannya untuk meletakkan tengkorang itu di dalam bejana. Selanjutnya beliau Radhiyallahu anhu berkata kepada tengkorak itu, “Aku menyumpahimu, wahai tengkorak, agar engkau mengabarkan kepadaku, siapakah aku dan siapakah dirimu ?" Spontan tengkorang itu dengan bahasa yang fasih, menjawab, "Adapun engkau, maka engkau adalah Amirul-Mukminin, pemimpin para penyandang wasiat, dan pemimpin orang-orang bertakwa. Adapun aku, maka aku adalah hambamu dan putra hamba wanitamu, yaitu Kisra Anusyirwan .... akan tetapi walaupun aku kafir, Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah membebaskan aku dari siksa neraka berkat aku dahulu menegakkan keadilan diantara rakyatku, sehingga meskipun aku menghuni neraka, tetapi neraka diharamkan untuk menyentuh diriku."[6]
Mungkin ini pulalah yang mendasari agama Syi'ah Itsna 'Asyariyah untuk memilih Ali Zainal Abidin dari sekian banyak putra al-Husain sebagai imam mereka yang ke-4. Mungkin ini pula yang mendasari Syi'ah meyakini bahwa imam mereka sepeninggal al-Husain hanya ada pada keturunan al-Husain, dan secara khusus dari jalur Ali Zainal Abidin. Berbeda dengan anak cucu al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhum, maka tidak seorangpun yang dinobatkan oleh agama Syi'ah sebagai imam mereka, padahal semua mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, secara khusus telah memuji al-Hasan sebagai seorang pemimpin yang berjasa besar.
إِنَّ ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ ، وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya putraku ini adalah seorang pemimpin, dan semoga saja Allâh dengan perantarannya mendamaikan antara dua kelompok besar dari umat Islam (yang saling berperang, Pen.). [HR al-Bukhâri]
Bila demikian nasib anak keturunan al-Hasan di mata para penganut agama Syi'ah, maka nasib anak keturunan putera-puteri Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu lainnya tidak akan berbeda darinya.
Hal lain yang sangat mengejutlan dari permusuhan penganut agama Syi'ah terhadap Umar bin al- Khaththab -yang menguatkan kesimpulan di atas, yakni balas dendam atas runtuhnya dinasti Majusi- ialah diagungkannya eksekutor pembunuh Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yaitu Abu Lu'lu'ah Fairuz al-Majusi.
Mereka -para penganut agama Syi'ah- sangat mengkultuskan Abu Lu'lu'ah Fairuz al-Majusi, padahal ia telah menorehkan sejarah kelam dalam sejarah Islam. Kisahnya, pada pagi hari, tepatnya ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab sedang memimpin umat Islam di Masjid Nabawi menjalankan shalat Subuh, Abu Lu'lu'ah al-Majusi melampiaskan dendam kesumatnya. Dengan sebilah pisau yang sebelumnya telah dibubuhi racun mematikan, ia menikam Khalifah Umar bin al-Khaththab beberapa kali.
Atas jasa pembalasan dendam inilah, Abu Lu'lu'ah al-Majusi mendapatkan penghargaan besar yang disematkan oleh para penganut agama Syi'ah. Bentuk penghormatan sekaligus penghargaan yang diberikan kepada pembunuh Khalifah Umar bin al-Khaththab ini diwujudkan dalam dua hal, yaitu; Pertama, agama Syi'ah meyakini bahwa Abu Lu'lu'ah al-Majusi dikuburkan di Kota Kâsyân, Iran. Sebagai wujud penghormatan, mereka membangun kuburannya ini dan menjadikannya sebagai tempat bersejarah yang senantiasa dikunjungi, Kedua, hari keberhasilan Abu Lu'lu'ah al-Majusi melampiaskan dendamnya kepada Amirul-Mukminin Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu anhu disebutnya sebagai hari besar, yaitu hari raya 'Idul Akbar.
Inilah beberapa catatan, agar kaum Muslimin waspada terhadap gerakan dan pemikiran agama Syi'ah yang saat ini sudah mulai merebak ke tengah-tengah kita. Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga kaum Muslimin tetap istiqamah menempuh manhaj para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVII/1435H/2014M.]
________
Footnote
[1]. As-Sunnah, oleh Imam Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Khallal, 2/478.
[2]. Tarikh Dimasq, oleh Ibnu 'Asâkir, 38/32-33.
[3]. Disebutkan oleh an-Nuri ath-Thabrasi sebagai julukan ke-47 dari sekian banyak julukan Mahdi Syi'ah. Lihat an-Najmu ats-Tsaqib fî Ahwâli al-Imam al-Hujjah al-Ghâib, hlm. 185.
[4]. Bihârul-Anwâr, oleh al-Majlisi, 51/163-164
[5]. Al-Gahibah, oleh Muhammad bin Ibrahim an-Nu'mani (wafat tahun 380 H), hlm. 233.
[6]. Al-Fadhâil, oleh Syazân bin Jibra'il al-Qummi (hlm. 71), Bihârul-Anwâr (41/213) dan Madinatul- Ma'ajiz, oleh as-Sayyid Hasyim al-Bahrâni (1/227).
0 Komentar untuk "Mewaspadai Celaan Agama Syi'ah Terhadap Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam"