dalil orang Shufiy yang katanya bisa dipakai sebagai dasar legalisasi praktek tarian mereka. Katanya, ada dua riwayat dalam hal ini, yaitu (sekaligus akan saya berikan komentar singkat tentangnya) :
1. Hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَتْ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُونَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَرْقُصُونَ، وَيَقُولُونَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا يَقُولُونَ؟ " قَالُوا: يَقُولُونَ مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad (bin Salamah), dari Tsaabit (Al-Bunaaniy), dari Anas, ia berkata : “Orang-orang Habasyah bermain-main dan menari-nari di hadapan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata : “Muhammad adalah hamba yang shaalih”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa yang mereka katakan ?”. Mereka (para shahabat) berkata : “Orang-orang Habasyah berkata : ‘Muhammad adalah hamba yang shaalih” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/152].
Al-Arna’uth berkata : “Sanadnya shahih sesuai syarat Muslim” [20/17].
Komentar :
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 1680 dari jalan Ahmad bin Hanbal.
‘Abdush-Shamad mempunyai mutaba’ah dari :
a. Hudbah bin Khaalid; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 5780 dengan sanad shahih.
b. Abu Salamah (Manshuur bin Salamah Al-Khuzaa’iy); sebagaimana diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaaq As-Sarraaj dalam Hadiits-nya no. 1765, dan dari jalannya Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 1681, dengan sanad shahih.
As-Sindiy rahimahullah mengatakan bahwa makna yazfinuun (يَزْفِنُونَ) adalah :
كيضرب، أي: يرقصون بالسلاح
“Seperti menghentakkan (mengacung-acungkan), yaitu menari/melompat-lompat dengan senjata” [Ta’liiq Al-Arna’uth terhadap Musnad Al-Imaam Ahmad, 20/17].
Hudbah (tsiqah) dan Abu Salamah (tsiqah, tsabt, lagi haafidh) membawakan dengan lafadh :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ الْحَبَشَةَ كَانُوا يَزْفِنُونَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَتَكَلَّمُونَ بِكَلامٍ لا يَفْهَمْهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا يَقُولُونَ "؟ قَالُوا: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ
Dari Anas bin Maalik : Bahwasannya orang-orang Habasyah bermain-main/menari di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan perkataan yang tidak beliau pahami. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa yang mereka katakan”. Mereka (para shahabat) menjawab : “Muhammad adalah hamba yang shaalih” [lafadh milik Ibnu Hibbaan].
Apakah riwayat di atas pas dijadikan dalil orang-orang Shufiy untuk melegalkan tarian mereka ?
Tentu saja tidak.
Untuk memperoleh gambaran apa yang dilakukan oleh orang Habasyah tadi, kita perlu melihat riwayat-riwayat lain yang berkenaan dengan peristiwa tersebut.
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " جَاءَ حَبَشٌ يَزْفِنُونَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُ رَأْسِي عَلَى مَنْكِبِهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ، حَتَّى كُنْتُ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِمْ "
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir,dari Hisyaam, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Orang-orang Habasyah sedang bermain-main/menari-nari (yazfinuun) pada hari ‘Ied di masjid. Lalu Nabishallallaahu 'alaihi wa sallam memanggilku, lalu aku letakkan kepalaku di atas pundak beliau untuk melihat permainan mereka, hingga aku sendiri yang berhenti dan berpaling melihat mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 892].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كَانَ الْحَبَشُ يَلْعَبُونَ بِحِرَابِهِمْ، فَسَتَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَنْظُرُ، فَمَا زِلْتُ أَنْظُرُ ......
Telah menceritakan kepada ‘Abdullah bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam : Telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Orang-orang Haabsyah pernah bermain-main dengan tombak mereka. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menutupiku agar aku dapat melihat mereka.....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5190].
Jadi, kita ketahui bahwa yang dilakukan oleh orang-orang Habasyah itu adalah bermain perang-perangan dengan senjata mereka di masjid. Dari sini An-Nawawiyrahimahullah berkata :
فِيهِ جَوَاز اللَّعِب بِالسِّلَاحِ وَنَحْوه مِنْ آلَات الْحَرْب فِي الْمَسْجِد , وَيَلْتَحِق بِهِ فِي مَا مَعْنَاهُ مِنْ الْأَسْبَاب الْمُعِينَة عَلَى الْجِهَاد وَأَنْوَاع الْبِرّ
“Dan hadits tersebut terdapat dalil bolehnya permainan dengan senjata atau yang semisalnya dari alat-alat peperangan di masjid. Dan melekat padanya apa-apa yang terdapat dalam maknanya dari segala sebab yang membantu pelaksanaan jihad dan berbegai jenis kebaikan” [Syarh Shahiih Muslim – lihat : http://www.iid-alraid.de/Hadeethlib/Books/22/sharh109.htm].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَاسْتَدَلَّ قَوْم مِنْ الصُّوفِيَّة بِحَدِيثِ الْبَاب عَلَى جَوَاز الرَّقْص وَسَمَاع آلَات الْمَلَاهِي ، وَطَعَنَ فِيهِ الْجُمْهُور بِاخْتِلَافِ الْمَقْصِدَيْنِ ، فَإِنَّ لَعِب الْحَبَشَة بِحِرَابِهِمْ كَانَ لِلتَّمْرِينِ عَلَى الْحَرْب فَلَا يُحْتَجّ بِهِ لِلرَّقْصِ فِي اللَّهْو ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
“Sekelompok orang dari kalangan shufiyyah berdalil dengan hadits dalam bab ini (yaitu hadits tentang orang-orang Habasyah) atas bolehnya menari/berjoget dan mendengarkan alat musik. Dan jumhur ulama mencelanya karena itu adalah dua hal tersebut berbeda tujuannya. Permainan orang-orang Habasyah dengan tombak mereka adalah untuk latihan/persiapan perang, tanpa bertujuan dengannya bermain menari-nari/berjoget” [Fathul-Baariy, 6/553].
Intinya, di situ tidak ada dalil atau pentunjuk legalitas tarian Shufiy.
2. Hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا أَسْوَدُ يَعْنِي ابْنَ عَامِرٍ، أخبرنا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ هَانِئِ بْنِ هَانِئٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنا، وَجَعْفَرٌ، وَزَيْدٌ، قَالَ: فَقَالَ لِزَيْدٍ: " أَنْتَ مَوْلَايَ "، فَحَجَلَ، قَالَ: وَقَالَ لِجَعْفَرٍ: " أَنْتَ أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي "، قَالَ: فَحَجَلَ وَرَاءَ زَيْدٍ، قَالَ: وَقَالَ لِي: " أَنْتَ مِنِّي، وَأَنَا مِنْكَ "، قَالَ: فَحَجَلْتُ وَرَاءَ جَعْفَرٍ
Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Aamir : Telah mengkhabarkan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari Haani’ bin Haani’, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku, Ja’far, dan Zaid mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid : “Engkau adalah maulaku”. Lalu Zaid pun melompat-lompat karena gembira. Beliau berkata kepada Ja’far : “Engkau mirip denganku dan akhlaqku”. Maka ia (Ja’far) pun melompat-lompat di belakang Zaid. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : “Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu”. Lalu akupun melompat-lompat di belakang Ja’far [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/108].
Komentar :
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 744, Al-Baihaqiy dalamAl-Kubraa 10/226 dan dalam Al-Aadaab no. 921 dari jalan Israaiil.
Al-Arna’uth berkata :
إسناده ضعيف هانئ بن هانئ تقدم الكلام فيه رقم ٧٦٩ ومثله لا يحتمل التفرد ولفظ الحجل في الحديث منكر غريب
“Sanadnya lemah. Haani’ bin Haani’, telah berlalu pembicaraan tentangnya di hadits no. 769. Perawi semisal dirinya tidak diterima tafarrud-nya. Dan lafadh al-hajl(melompat) dalam hadits ini munkar ghariib” [2/213-214].
Ketika memberikan catatan kaki untuk hadits no. 769, Al-Arna’uth menjelaskan komentar para ulama tentang Haani’ bin Haani’. Berikut akan saya tuliskan keterangan tentangnya :
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Sa’d berkata : “Ia bertasyayyu’, munkarul-hadiits”. Ibnul-Madiiniy berkata : “Majhuul”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Haani’ bin Haani’, tidak diketahui. Para ahli hadits tidak memakai haditsnya karena jahaalatul-haal-nya dirinya”. Al-Baihaqiy berkata : “Haani’ bin Haani’ sangat tidak dikenal”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah” [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 30/145 dengan catatan muhaqqiq-nya; danMa’rifatuts-Tsiqaat 2/325 no. 1883].
Tautsiq An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, dan ‘Ijliy belum kuat untuk mengangkat haditsnya, karena keberadaan jarh Ibnu Sa’d, Ibnul-Madiiniy, dan Asy-Syaafi’iy. Ia hanya diketahui meriwayatkan hadits dari ‘Aliy, dan darinya Abu Ishaaq As-Sabii’iy.
Al-Bazzaar rahimahullah berkata :
وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُ أَحَدًا رَوَاهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَذَا الإِسْنَاد
“Hadits ini tidak aku ketahui seorang pun yang meriwayatkan dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali ‘Aliy bin Abi Thaalib dengan sanad ini” [Al-Bahr, no. 744].
Al-Baihaqiy rahimahullah telah mengisyaratkan ketidakvalidan riwayat ini dengan perkataannya :
هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ لَيْسَ بِالْمَعْرُوفِ جِدًّا، وَفِي هَذَا إِنْ صَحَّ دَلالَةٌ عَلَى جَوَازِ الْحَجْلِ، وَهُوَ أَنْ يَرْفَعَ رِجْلا، وَيَقْفِزَ عَلَى الأُخْرَى مِنَ الْفَرَحِ، فَالرَّقْصُ الَّذِي يَكُونُ عَلَى مِثَالِهِ يَكُونُ مِثْلَهُ فِي الْجَوَازِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Haani' bin Haani' sangatlah tidak dikenal. Dalam hadits ini, seandainya shahih[2], terdapat dalil diperbolehkannya Hajl, yaitu mengangkat kaki dan melompati kaki yang lain karena gembira. Dan raqsh dan yang semisalnya juga diperbolehkan. Wallaahu a'lam” [selesai].
Ada jalan riwayat lain yang dibawakan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat (4/336) dengan sanad :
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ،
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya (Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib) : “.... (al-hadits)....”. [selesai].
Para perawinya tsiqaat, hanya saja mursal. Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib tidak pernah bertemu dengan kakeknya (‘Aliy bin Abi Thaalib).
Ada jalan riwayat lain yang panjang dibawakan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah(4/339) dengan sanad sebagai berikut :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الْجَهْمِ بْنِ مَصْعَلَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْفَرَجِ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَاقِدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي حَبِيبَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Ishaaq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Al-Jahm bin Mashla’ah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Farj, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waaqidiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Habiibah, dari Daawud bin Hushain, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : .....(al-hadits).... [selesai].
Ibnu Sa’d juga meriwayatkan dari jalan Al-Waaqidiy [Ath-Thabaqaat, 8/326].
Riwayat ini sangat lemah terutama dengan sebab Al-Husain bin Farj dan Al-Waaqidiy. Keduanya adalah perawi matruuk.
Ada juga riwayat lain yang panjang dibawakan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (8/6) dengan sanad :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ الْعَدْلُ، بِبَغْدَادَ، أنبأ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمِصْرِيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، ثنا أَسَدُ بْنُ مُوسَى، ثنا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، حدَّثَنِي أَبِي، وَغَيْرُهُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ, قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: وَحَدَّثَنِي هَانِئُ بْنُ هَانِئٍ، وَهُبَيْرَةُ بْنُ يَرِيمَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.......
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Husain bin Bisyraan Al-‘Adl di Baghdaad : Telah memberitakan kepada kami Abul-Hasan ‘Aliy bin Muhammad Al-Mishriy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Maryam : Telah menceritakan kepada kami Asad bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Zakariyyaa bin Abi Zaaidah : Telah menceritakan kepadaku ayahku dan yang lainnya, dari Abu Ishaaq; telah berkata Abu Ishaaq : Dan telah menceritakan kepadaku Haani’ bin Haani’ dan Hubairah bin Yariim, dari ‘Aliy bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu : “....(al-hadits)...” [selesai].
Riwayat ini sangat lemah, terutama disebabkan oleh ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Maryam. Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata :
حدث عن الفريابي وغيره بالبواطيل ، له حديث ليس بمحفوظ فهو إما أن يكون مغفلا لا يدري ما يخرج من رأسه ، أو يتعمد فإني رأيت له غير حديث غير محفوظ
“ia meriwayatkan dari Al-Firyaabiy dan yang lainnya hadits-hadits bathil. Ia mempunyai hadits yang tidak mahfuudh. Hal itu bisa jadi disebabkan karena kelalaiannya sehingga tidak tahu apa yang keluar dari kepalanya, atau ia sengaja melakukannya. Sesungguhnya aku melihat ia mempunyai selain hadits itu, hadits-hadits yang tidak mahfuudh” [Al-Kaamil, 4/1568].
Abu Ya’laa dalam Al-Musnad (no. 526 & 554) dan Ibnu Sa’d (3/25) dengan sanad hasan dari Abi Ishaaq, dari Haani’ bin Haani’ dan Hubairah, dari ‘Aliy; tanpa lafadh al-hajl.
Pertanyaannya : Apakah riwayat Haani’ bin Haani’ dan riwayat mursal Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain dapat mengangkatnya menjadi hasan lighairihi ?.
Akan tetapi sebelum itu, maka perlu saya sebutkan bahwa Haani’ bin Haani’ sertamursal Muhammad bin ‘Aliy telah menyelisihi banyak perawi yang meriwayatkan hadits tersebut tanpa tambahan lafadh al-hajl (melompat). Di antaranya :
a. Naafi’ bin ‘Ujair, dari ayahnya, dari ‘Aliy.
b. Abu Ishaaq dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib.
c. Al-Miqsam bin ‘Abbaas dari Ibnu ‘Abbaas.
d. Dan yang lainnya.
Karena penyelisihihan ini, tambahan dari dua jalan lemah di atas tidak diterima. Tidak pula bisa menjadi hasan lighairihi dan dijadikan bagian ziyaadah lafadh. Oleh karena itu, tambahan lafadh/keterangan al-hajl di atas adalah munkar sebagaimana dikatakan Al-Arna’uth. Begitu pula yang dikatakan oleh Dr. ‘Aliy Ridlaa ketika membahas hadits di atas.
Seandainya shahih, maka itu pun tidak bisa dijadikan dalil.
Kenapa ?. Karena loncat-loncatnya ‘Aliy, Ja’far, dan Zaid radliyallaahu ‘anhum adalah karena kegembiraan mereka. Tergambar jelas dalam riwayat. Sangat manusiawi, sama halnya ketika kita sangat gembira mendengar satu khabar, lalu kita meloncat-loncat kegirangan. Bisakah hal itu menjadi dalil (baca : dalih) yang jelas keabsahan tarian orang-orang Shufiy ?.[3]
Ibnul-Jauziy rahimahullah berkata :
فالجواب أما الحجل فهو نوع من المشي يفعل عند الفرح فأين هو من الرقص
“Jawabnya adalah : Adapun al-hajl, maka ia adalah salah satu jenis dari (cara) berjalan, yang dilakukan ketika gembira. Lantas dimana hubungannya dengan ar-raqsh (tarian/joget) ?” [Talbiis Ibliis, hal. 230].
Lagi pula,.... seandainya pun dua hadits di atas dhahirnya menunjukkan bahwa para shahabat menari-nari seperti tari Serimpi – dan itu salah besar - , apakah bisa dikatakan bahwa taqriir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas perbuatan mereka dijadikan sarana ibadah seperti orang Shufiy ?. Taqriir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada sesuatu itu pada asalnya hanya menunjukkan perkara mubah saja. Ia menjadi dianjurkan atau masuk dalam lingkup ibadah yang dianjurkan/disunnahkan jika ada keterangan (baca : dalil) tambahan yang menunjukkannya. Dan untuk kasus di atas, tidak ada.
Yang seperti inikah yang akan diqiyaskan dengan mainan perang-perangan orang-orang Habasyah dan loncatan shahabat saat diberi kabar gembera oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?.
Jaka sembung naik ojek, gak nyambung jek !
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ ].
[2] Ada seorang fanatikus Shuufiy yang dikarenakan keinginannya membuat legalitas amalan ulamanya, atau ustadznya, atau rekannya; maka ia pun menyunat (memotong) kata-kata yang dibold (yaitu : ‘seandainya shahih’), baik dalam nukilan bahasa ‘Arabnya maupun terjemahannya. Anda dapat tebak motif penyunatan kata ini. Seandainya ia tampilkan, tentu akan merugikan pendapatnya, sehingga tulisannya menjadi hambar.
[3] Logika sederhananya :
Ada seorang kakek, ayah, dan cucu (anak si ayah). Ketika si kakek memberi kabar gembira buat si ayah karena ia diangkat menjadi pewaris kerajaan atau pewaris harta; maka si ayah pun meloncat-loncat karena saking gembiranya. Apa yang dilakukan oleh si ayah ternyata dilihat oleh anaknya (cucu). Lalu anaknya yang cerdas itu berpikiran : “Wah, ayah kok loncat-loncat seperti itu. Berarti boleh dong kalau aku ikut les Break Dance di sekolah”.
Anda sebagai orang yang cerdas, dapatkah memahami kekeliruan pola pikir si anak bahwa ayahnya pasti mbolehin dirinya ikut les Break Dance hanya karena ia melihat ayahnya meloncat-loncat gembira karena dikasih kabar oleh si kakek ?.
0 Komentar untuk "Tarian Sufi Di Bawah Naungan Syari’at"