Hampir-hampir tidak pernah berhenti membuat heran, orang-orang (Syi’ah) yang senantiasa berusaha mengklaim benarnya madzhab taqiyah yang batil nan menyedihkan itu, mereka berkata: “Nabi (Shallallahu’alaihi Wasallam) juga mempraktekkan taqiyah”. Mereka bersandar pada kisah-kisah sirah dan serajah yang sebenarnya tidak shahih, yang kisah-kisah tersebut tersebar luas di kalangan para penceramah dan tukang cerita.
Diantaranya kisah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika pasukan kafir sedang mencari rute perjalanan Nabi dan pasukannya menuju perang Badar, beliau ditanya oleh mereka: “kalian dari mana?”, lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab:
نحن من ماء
“kami dari air” [1]
kemudian orang Syi’ah menambahkan (alasan lain yang sebenarnya lebih lemah) dengan berkata: “taqiyah itu disyariatkan oleh agama kita (Islam). Taqiyah itu bukan hanya milik madzhab Syi’ah. Ini adalah bentuk pemahaman yang keliru yang beredar di jalan, bahwa taqiyah adalah milik madzhab Syi’ah. Bukan, itu bukan hanya milik madzhab Syi’ah. Buktinya ini ada dalam ayat Qur’an
إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان
‘kecuali bagi orang yang dipaksa (untuk mengatakan kekafiran) namun hatinya tetap kokoh dalam iman‘” [selesai].
dan kemudian mereka juga berkilah bahwa (perbedaan antara sunni dan syiah dalam masalah taqiyah, pent.) adalah hanya masalah perbedaan istilah.
Jawaban terhadap alasan-alasan yang lemah dan rendahan tersebut dari beberapa sisi:
- Kisah “min maa-in” (dari air), walaupun banyak disebutkan dalam kitab-kitab, tidak pernah diketahui ada sanadnya yang shahih ataupun hasan.
- Para ulama yang menyebutkan kisah ini dalam kitab-kitab mereka, mereka murni hanya dalam rangka menceritakan sejarah. Tidak pernah sama sekali menjadikannya dalil yang membenarkan madzhab ahlul bid’ah atau kaum sesat, juga tidak pernah digunakan untuk membenarkan jalannya orang-orang tukang dusta dan penipu
- Diantara para ulama yang berdalil dengan kisah ini, konteks pembahasan fiqih, seperti Asy Syathibi, Ibnul Qayyim dan lainnya mereka hanya menjadikan ini dalil bolehnya tauriyah[2], bukan taqiyah[3]. Perbedaan di antara keduanya bagaikan langit dan bumi, dan menisbatkannya kepada agama kita (saya tidak katakan menisbatkan pada ahlussunnah), sebagaimana menisbatkan sumur kepada langit (baca: sumur merupakan bagian dari langit).
- Tauriyah (bukan taqiyah) itu penggunaannya dalam kisah tersebut, jika memang kisah itu shahih, ia digunakan terhadap orang kafir bukan sesama Muslim.
- Sementara praktek Syi’ah dengan taqiyah-nya (bukan tauqiyah) mereka gunakan itu terhadap musuh mereka (yang notabene Muslim), terutama An Nawashib, yang sebenarnya mereka maksud (dengan An Nawashib itu) adalah Ahlussunnah.
- Tauriyah menurut Ahlussunnah itu sekedar perkataan yang mubah saja hukumnya. Sementara Syi’ah menganggap taqiyah itu bagian dari rukun agama mereka dan hal yang paling asas (penting dan mendasar) dalam agama mereka.
- Tauriyah menurut Ahlussunnah termasuk istitsna’ (pengecualian) dan digunakan hanya jika dibutuhkan. Sementara menurut Syi’ah, taqiyah itu termasuk perkara wajib yang terus-menerus hukum wajibnya. Dalam kitab Ushulul Kafi (1/222)يقول أبو عبدالله : إنَّكم على دينٍ مَن كتمه أعزَّه الله، ومن أذاعه أذلَّه الله“Abu Abdillah berkata: sesungguhnya kalian berada dalam agama yang barangsiapa menyembunyikannya, maka Allah akan meninggikannya, barangsiapa yang memberitahunya maka Allah merendahkannya”
- Adapun berdalil dengan ayat yang mulia yang disebutkan di atas, untuk mengklaim benarnya taqiyah, maka ini pendalilan yang batil. Berdalil dengan yang shahih untuk membenarkan hal yang qabih (jelek) yang merupakan perkara bid’ah yang menyesatkan. Dan tidak samar lagi bagi penuntut ilmu syar’i bahwa masalah al ikrah (pemaksaan) itu ada pembahasan hukum fiqih dan pembahasan aqidah tersendiri, yang memiliki kaidah-kaidah dan syarat-syarat, dan pada dasarnya tidak memiliki kaitan dengan pembahasan tauriyah, apalagi taqiyah.
- Tauriyah itu kejujuran, sedangkan taqiyah itu kedustaan. Oleh sebab itu Imam Malik ketika ditanya tentang kaum Rafidhah, beliau menjawab:لا تُكلِّمْهم ، ولا تَرْوِ عنهم؛ فإنَّهم يَكْذبون“jangan bicara dengan mereka, jangan meriwayatkan hadits dari mereka, karena mereka itu pendusta”
Dan Imam Asy Syafi’i juga berkata:لَم أرَ أحدًا أشهدَ بالزُّور من الرافضة“tidak pernah saya melihat yang paling gemar bersaksi palsu melebihi orang Rafidhah” - Yang dikatakan dalam tauriyah itu hal yang berbeda (dengan yang dipahami), namun keduanya memiliki suatu makna yang sama. Berbeda dengan taqiyah yang benar-benar jelas perbedaannya.
Maka, masalah perbedaan istilah mana yang dimaksud? Apakah seperti ini? Yaitu memutar-balikkan al haq dengan kebatilan? Atau menyamarkan kebatilan dengan kebenaran? Semoga Allah merahmati seseorang yang mengatakan perkataan (yang pas sekali dengan kasus ini) :
شكونا إليهم خَرابَ (العراقِ!) **** فعابُوا علينا شُحومَ البَقَرْ!!
“kami mengeluhkan kepada mereka kekacauan di Irak”
“namun mereka mencoreng kami dengan lemak sapi”
Sungguh Allah lah yang Maha Pemberi Petunjuk kepada jalan yang lurus
Catatan kaki (dari penerjemah) :
[1] Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memaksudkan “bahwa kami diciptakan dari air mani”, namun zhahir ucapannya yang dipahami orang kafir tersebut adalah “kami datang dari daerah yang banyak airnya”
[2] tauriyah adalah seseorang mengucapkan perkataan namun maksudnya berbeda dengan zhahir ucapannya. contohnya lihat poin [1].
[3] taqiyah adalah seseorang menampakkan perkataan dan perbuatan yang sama sekali berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya. misalnya seseorang berkata, “saya tidak setuju dengan nikah mut’ah (nikah kontrak)”, padahal dalam hatinya mengatakan “menurut saya nikah mut’ah itu halal”.
Penerjemah: Yulian Purnama
0 Komentar untuk "Perbedaan Taqiyah Dan Tauriyah"