Problematika yang timbul dari keberadaan penganut ajaran Ahmadiyah di tengah kaum muslimin tetap saja akan mencuat. Seiring dengan agresivitas golongan yang pertama kali muncul di daratan India itu dalam menyebarluaskan pemahaman-pemahaman si Nabi Palsu, antek penjajah Inggris.
Sebagian orang meyakini kalau Ahmadiyah hanya sekedar firqoh (golongan sempalan) dalam Islam. Sebuah golongan yang mempunyai furû (dalam masalah fikih misalnya) yang berbeda dari golongan lainnya. Tidak ada titik perbedaan selain ini. Pendapat demikian ini dipatahkan oleh Syaikh Ihsân Ilâhi Zhâhir rahimahullah. Dalam keterangan beliau, seorang muslim hendaknya tahu betapa besar kesalahan asumsi di atas. Pasalnya, golongan yang juga dikenal nama Qadiyaniah tidak mempunyai hubungan apapun dengan Islam. Hanya saja mereka mengenakan baju Islam untuk mengecoh kaum muslimin.[2] Berikut ini 2 (dua) fakta dari kitab-kitab mereka yang menguatkan kesimpulan tersebut, baik tulisan maupun pernyataan sang Nabi Palsu atau para penerus aqidah sesatnya. Wallahul Hâdi [3]
Putranya yang meneruskan kedustaan sang ayah, Mahmûd Ahmad menguatkan: “Seorang lelaki menemuiku di sebuah wilayah. Ia menanyakan mengenai berita yang telah beredar bahwa kalian mengkafirkan kaum muslimin yang tidak menganut agama Ahmadiyah. Apakah itu memang benar. Maka saya menjawab, Iya. Tidak diragukan lagi. Kami memang mengkafirkan kalian”. Maka lelaki tersebut merasa aneh dan kaget”.[5]
Anaknya yang lain, Basyîr Ahmad dengan tanpa malu-malu mengatakan: “Setiap orang yang beriman kepada Musa Alaihissallam, tapi tidak beriman kepada Isa Alaihissallam, juga tidak beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia kafir. Begitu pula orang yang tidak beriman kepada Ghulam Ahmad maka dia kafir juga, telah keluar dari Islam. Kami tidak mengatakan ini dari diri kami sendiri. Namun kami mengutip dari Kitabullah “Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya..“(Qs an-Nisâ/4:151)[6]. Di sini bisa dilihat, bagaimana ia tak lupa mencatut dan membajak ayat al-Qur`an untuk kepentingan golongannya yang lebih pantas disebut agama baru Ahmadiyah.
Putra Ghulam pernah juga mengutip pernyataan Nuruddin, pengganti Ghulam yang pertama (Khalifah Ahmadiyah yang pertama setelah kebinaasan Nabi Palsu mereka) : “Sesungguhnya kaum muslimin selain penganut ajaran Qâdiyaniah (Ahmadiyah) masuk dalam kandungan firman Allah Azza wa Jalla : “Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya”. Kemudian ia membubuhkan catatan (ta’liq) setelah perkataan di atas, bunyinya: “Bagaimana mungkin orang yang mengingkari Musa Alaihissallam menjadi kafir dan terlaknat, yang mengingkari Isa Alaihissallam juga kafir, sementara orang yang mengingkari Ghulam Ahmad tidak kafir. Padahal perkataan kaum mukminin adalah “Kami tidak membeda-bedakan antara seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya,” . Sementara mereka itu membedakan sikap terhadap para rasul. Oleh karena itu, orang yang mengingkari Ghulam Ahmad pasti orang kafir dan masuk dalam firman Allah : “Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya“[7]
Dalam kitab an-Nubuwwah Fil Ilhâm, hasil karya salah satu ulama Ahmadiyah termaktub: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berkata kepadanya (Si Nabi Palsu): “Orang yang mencintai-Ku dan menaati-Ku, wajib atas dirinya mengikutimu dan beriman kepadamu. Kalau tidak, ia belum mencintai-Ku. Bahkan sebaliknya, ia adalah musuh-Ku. Apabila para pengingkar menolak ini, atau bahkan mendustakanmu dan menyakitimu, maka Kami akan membalas mereka dengan balasan yang buruk, dan Kami persiapkan bagi orang-orang kafir itu Jahannam sebagai penjara bagi mereka”. Lalu penulis berkomentar mengenai ilham di atas, bahwa Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan di sini bahwa orang yang mengingkari Ghulam adalah orang kafir dan balasannya Jahannam”.[8]
Demikian cuplikan aqidah mereka tentang kaum muslimin melalui tulisan-tulisan sang Nabi palsu, keturuan dan tokoh agama mereka. Masih banyak aqidah buruk mereka yang lain, yang kian menegaskan kesimpulan di awal tulisan ini bahwa mereka bukan kaum muslimin lagi. Jadi, tinggal menunggu keberanian mereka untuk menyatakan dengan lantang dan keras bahwa mereka bukan kaum muslimin. Dengan ini tensi permusuhan kaum muslimin dengan mereka (mungkin) sedikit banyak akan mereda.[9]
Sang Nabi Palsu berkata: “Inilah (keterangan di atas) adalah madzhabku yang sudah jelas. yakni, tidak boleh bagi kalian untuk shalat di belakang selain penganut Ahmadiyah. Dalam kondisi apapun, siapapun imamnya, walaupun nanti memperoleh pujian dari orang-orang. Inilah hukum Allah dan kehendak Allah (?). Orang yang ragu dan sangsi tentang ini termasuk dalam hitungan kaum yang mendustakan. Allah ingin membedakan kalian dari orang lain[10].
Dalam kitab Arbaîn miliknya (hal 34-35), si Nabi palsu berkata: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah memberiku berita bahwa Dia mengharamkan secara qath’i untuk shalat di belakangan orang yang mendustakanku atau ragu untuk taat kepadaku. Kewajiban kalian adalah mengerjakan shalat di belakang imam-imam kalian… kerjakan apa yang saya perintahkan. apakah kalian ingin amalan kalian terhapus tanpa kalian sadari?”.
Si anak pun tak mau kalah. Dalam masalah yang sama, ia menetapkan: “Tidak boleh shalat di belakang selain penganut Ahmadiyah. Orang-orang terus saja bertanya tentang ini, apakah boleh seorang penganut Ahmadiyah shalat di belakang orang yang bukan Ahmadiyah?. Saya katakanmeski terus kalian bertanya tentang ini kepadaku, maka jawabnya sesungguhnya tidak boleh penganut ajaran Ahmadiyah shalat di belangan orang yang bukan menganut (agama) Ahmadiyah, tidak boleh, tidak boleh”.
Fakta sejarah lain, dengan aktor Khalifah kedua Ahmadiyah, putra Nabi Palsu, Mahmûd Ahmad. Dia sedang mengisahkan perjalanan hajinya ke Mekkah.[11] Katanya: “Saya pergi tahun 1912 M ke Mesir. Dari sana kemudian saya berangkat naik haji. Di Jedah, kakek dari ibu menemuiku. Lantas, kami bersama-sama pergi ke Mekkah. Di hari pertama, saat kami thowaf, waktu shalat datang. Saya berniat keluar (dari Masjidil Haram, red). Namun, pintu keluar sudah terhalangi karenanya kondisi sangat padat dengan jamaah shalat. Selanjutnya, saya akhirnya shalat. Kakekku menyuruh aku untuk shalat. Kami pun shalat. Ketika sampai di rumah, kami kemudian saling berkata: “Ayo, kita kerjakan shalat lagi karena Allah. Sebab, shalat tidak bisa dilaksanakan dan tidak diterima bila dikerjakan di belakang imam yang bukan penganut Ahmadiyah…”(?!)[12]
Akan tetapi, seperti kami ungkap dalam buku al-Qâdiyâniyah ‘Amîlatul Isti’mâr (Qadiyaniah antek kolonialisme), bahwa tujuan mereka ialah mencoreng muka Islam dan melontarkan keraguan terhadap aqidah kaum muslimin, mengais materi (dari penjajah Inggris), dan melayani kekuasaan penjajah dan mempropagandakan dakwah batil tersebut di benua Afrika dan tempat-tempat lainnya. Hingga Islam mesti menanggung kerugian dan kaum muslimin pun terpedaya karenanya.
Inilah aqidah mereka. Mereka tidak memperbolehkan shalat di belakang kaum muslimin ataupun menyolati kaum muslimin (di luar jamaah Ahmadiyah). Karenanya, ketika pendiri Negara Pakistan meninggal, Muhammad Ali Jinah rahimahullah, sang menteri luar negeri pada zaman itu yang bernama Zhafrullah Khan tidak menshalati beliau. Sebabnya sangat jelas. Karena Muhammad Ali Jinah rahimahullah menurut pandangannya telah kafir lantaran memegangi petunjuk Muhammad dan membebaskan umat Islam dari cakar-cakar penjajah…”[13]
Sebagai penutup, kami kutipkan pesan beliau kepada umat Islam: “Usaha untuk melawan Ahmadiyah guna menghentikan ancamannya sudah menjadi kewajiban dalam Islam, politik dan secara individual. Dari kaca mata agama, karena telah mengobrak-abrik ajaran Islam dan menghancurkan rukun-rukunnya. Adapun dari sudut politis, lantaran Ahmadiyah merupakan kepanjangan tangan kekuasaan kolonialis di setiap distrik yang ditempati. Dan, secara individu, telah dilakukan oleh DR. Muhammad Iqbal yang menyanggah pernyataan PM Jawaharlal Nehru yang mendukung ajaran agama Ahmadiyah”.
Semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kaum muslimin dari segala fitnah, yang tampak maupun tersembunyi.
Wallahul Musta’an
0 Komentar untuk "Kesesatan Ahmadiyah"